Noumena
“Si Bagus cerita sama aku kalau dia sempat mandi kembang karena cacar di kulitnya yang muncul tiba-tiba, entah kembang berapa rupa hahaa!”, ia menertawakan cerita kawannya yang ia ceritakan padaku.
“Sebagai cowok kamu tergolong 'lemes', cerita teman kok diceritain ke teman yang lain.”
Ia menoleh ke arahku sesaat sembari nyengir dan menyodorkan susu stroberi kemasan. Kami memang kerap kali janjian bertemu di minimarket 24 jam yang menyediakan segalanya. Heran, ini sebenarnya bukan minimarket melainkan warung makan berkedok minimarket, entah siapa pencetus keberadaan minimarket jenis ini.
Namun keberadaan minimarket seperti ini cukup membantu saat enggan memikirkan mau makan apa dan tempat makan mana yang perlu dikunjungi. Kalau dipikir-pikir manusia perlu efisiensi dalam kehidupannya, dan minimarket jenis ini sangat membantu, membuat gerak kami ringkas, semuanya juga serba ada di sini kecuali pecel lele dan makanan lokal lainnya.
Entah kapan kebiasaan pertemuan kami dimulai. Kami sudah cukup sering duduk berdua, saling menyebelahi, dan bercerita tentang hal absurd yang ada di dunia. Ini mengingatkanku dengan seseorang di masa lalu, bedanya yang kali ini lebih random. Tidak ada hitungan 3 kali seminggu untuk bertemu. Rasanya pun tidak seperti minum obat seolah pertemuan ini adalah sebuah keharusan, ini hanya pertemuan biasa.
Kami memutuskan bertemu jika ada hal absurd yang ingin kami bicarakan, biasanya dia sih yang mulai duluan. Manusia ini idenya seperti tak kunjung habis, hampir setiap hari selalu ada topik nyeleneh yang ia pikirkan dan harus dibagi. Sayangnya tidak semua orang mengerti, entah aku harus bersyukur atau tidak bisa menjadi salah satu yang mengerti dirinya.
“Hehe kalau tanpa awalan, semua gak akan menarik. Iya kan?”
“Yep, seperti yang sudah-sudah itu cuma bridging. Monggo kemukaan apa yang kamu pikirkan di balik cerita temanmu itu?”
“Hmm aku penasaran mengapa harus mandi kembang sekian rupa? Memang sih dia gak ada bilang berapa rupanya, tapi secara umum pasti begitu kan, pasti bunga yang dipakai lebih dari satu.”
“Terus, ini soal mandi kembang atau ada hal lainnya?”
“Sudah jelas ada hal lainnya. Aku mempertanyakan soal tujuan.”
Absurd kan? Iya memang dia seabsurd itu. Dari mandi kembang, sampai bertanya soal tujuan. Tujuan apa? Tujuan mandi kembang?
"Yaaaa bisa jadi temanmu memang mandi kembang karena menurutnya itu bagus untuk kulit, membantu proses penyembuhan cacarnya juga. Jadi mandi kembang tujuannya buat nyembuhin cacar. Itu yang kamu tanyakan? Kalau iya kamu mestinya bicarain ini sama dokter kulit, bukan sama aku.”
“Hahahaaa! Aku bukan mau nanyain tujuan mandi kembang tapi cuma kepikiran ternyata apapun yang ada di dunia ini selalu disisipi tujuan. Sama kayak yang kamu bilang, mandi kembang tujuannya untuk penyembuhan cacar, entah itu benar atau tidak.”
Aku menopangkan dagu, melihatnya dan menunjukkan ketertarikan tanpa bicara, membiarkan dia menjelaskan isi pikirannya yang bagi kebanyakan orang sudah pasti ruwet. Di sini aku menghargai diriku yang punya kesabaran lebih dibanding orang lain dalam meladeninya.
“Gini, kondisinya kan dia sedang cacar. Dan dia punya tujuan untuk menyembuhkan cacarnya. Ingat, itu tujuan ya. Nah dalam mencapai tujuannya, dia memutuskan mandi kembang. Bisa dikatakan mandi kembang ini sebagai solusi bahkan masuk kategori proses juga karena sudah dilakukan untuk mencapai tujuannya. Pertanyaannya, apakah keputusan mandi kembang itu benar?"
“Kayaknya aku paham maksudmu, kali ini kamu bicara soal solusi bahkan proses yang belum tentu benar kan?
“Nah itu! Aku tau kamu cerdas dalam melihat gambaran umum suatu permasalahan. Dan masalah yang sebenarnya bukan pada solusi dan prosesnya, tapi pada tujuannya. Kalau kamu hanya bertujuan ingin menyembuhkan cacarnya, kamu akan fokus pada bagaimana cara menyembuhkannya saja. Coba bayangkan ada begitu banyak cara untuk sembuh, jadi cara yang dipilih bisa saja bukan cara yang paling tepat untuk kasus tersebut. Sedangkan kalau kamu lebih spesifik menentukan tujuannya, misal kamu ingin mempelajari cacar tersebut, mengetahui mengapa kamu mengalaminya, sampai kamu paham apa yang kamu harus lakukan bukan sekedar menyembuhkannya saja tapi mengatasi penyebab cacar tersebut, aku rasa kamu gak akan sembarangan memutuskan mandi kembang. Meski aku gak bilang mandi kembang ini salah, aku pun gak tau itu benar atau salah, tapi bukankah lebih bijak bertanya pada yang lebih tau yaitu dokter, menerima penjelasannya, dan bertemu solusi terbaik?”
Aku pun mengangguk, ya aku paham maksudnya dan ini membuat aku berpikir tentang caraku menangani masalah hidup selama ini. Entah mengapa mendengar ini membuatku merasa ada yang keliru dengan apa yang aku lakukan sebelumnya, tapi aku tak mengetahui secara pasti apa itu. Ingatanku lemah.
Ia seperti menangkap ekspresiku, kemudian mengambil sedotan yang tertempel di susu kemasan tersebut, menusukkannya ke dalam kemasan dan menyodorkan susu tersebut kepadaku sambil berkata,
“Kamu itu pecinta susu, bukan berarti kamu mesti beralih minum kopi terus hanya karena kamu ingin menuntaskan masalah yang kamu hadapi. Dan payahnya minum kopi tak selamanya menyelesaikan masalah. Malah yang ada kamu akan kehilangan dirimu sendiri sebagai pecinta susu. Aku harap kamu bisa memikirkan tujuanmu secara spesifik ketika berhadapan dengan masalah apapun itu, apakah kamu ingin menyelesaikannya saja atau ada hal yang lain? Jangan sampai proses yang salah membuat kamu hilang arah.”
“Kok kamu tau aku lagi sering minum kopi?”
Seketika aku merasa dia cenayang, atau jangan-jangan dia adalah stalker yang tanpa kusadari memperhatikan aku diam-diam. Ia mengangkat dan menggoyangkan es kopi di tangannya,
“Karena aku pecinta kopi, aku paham mana yang memang suka kopi beneran, mana yang hanya pelarian.”
Es kopi itu diminumnya perlahan, ia juga mengalihkan pandangan ke jalanan di hadapan kami yang cukup lengang.
“Aku harap kamu punya tujuan untuk memahami dirimu terlebih dahulu sebelum terburu-buru menyelesaikan masalah yang kamu hadapi. Semoga kamu tidak hilang arah, kalaupun sudah terlanjur ya semoga kamu tau cara kembali ke awal dan menentukan kembali tujuanmu secara jelas, karena kalau tidak….”
Aku hanya melihatnya dengan tatapan bertanya tanpa mengeluarkan sepatah kata, berharap dia menuntaskan apa yang ia bicarakan. Terlihat ia menghela napas sebentar, dan tanpa menoleh ia melanjutkan bicaranya dengan sedikit nelangsa,
“Karena kalau tidak, kamu gak akan jadi dirimu yang otentik dan aku akan kehilangan satu orang yang bisa mengerti betapa absurdnya aku hahaa!”
Ternyata membicarakan mandi kembang hanya untuk mengingatkan aku agar mengurangi minum kopi, agar aku menjadi pencinta susu seperti yang ia kenal, agar aku bisa mengatasi masalah yang aku hadapi, ia tak ingin aku berubah, ia tak ingin kehilangan aku.
Sebentar, tak ingin kehilangan aku?
Tidak ada komentar: