Paradoks
Hanya saja mungkin di beberapa kesempatan terdapat
satu dua hal yang membuatnya terkesan berharga. Kenangan kah? Masa depan kah?
Masih rancu. Setiap orang memiliki persepsinya sendiri, mungkin hanya kami
berdua yang memiliki pemikiran seperti ini, bahwa waktu terlalu biasa tuk
disebut sebagai sesuatu yang berharga.
Diskusi adalah makanan bagi kami. Menyempatkan bertemu seminggu
3 kali adalah hal yang cukup mengenyangkan kepala. Tahun demi tahun pun membuat
kami terbiasa. Pertemuan seminggu 3 kali bak ritual yang harus kami penuhi.
Entah hanya sekedar mengenyangkan kepala, atau mungkin memenuhi hasrat yang
lain. Sesuatu yang tak bisa kami jelaskan, namun kemungkinan besar ini adalah
cara kami membuat waktu menjadi berharga seperti yang kebanyakan orang katakan.
Sangat disayangkan, untuk hal sesederhana ini kami pun tak bisa memastikannya.
“Semakin ke sini, semakin aku merasa bukan apa-apa. Lebih pengen
banyak belajar aja, tapi gak pengen ngumbar. Karena aku punya pemikiran, kalau
aku hebat, orang-orang akan tahu dengan sendirinya nanti”, ungkapnya.
“Caranya???”
“Intinya aku punya cara sendiri untuk itu tanpa perlu
gembar-gembor”
"Udahlah, bagiku kamu udah hebat, malah udah jadi yang
terhebat", sahutku mencoba membuatnya percaya.
"No, no, no... Akan kubuktikan!"
Kamu memintaku menanti pembuktianmu (lagi)?
Yah, ini bukan kali pertama terjadi. Diskusi kami juga tak melulu seru dan menyenangkan, kadang bisa amat
sangat melelahkan. Jika sudah lelah, salah satu dari kami hanya mendengar dan
manggut-manggut tanpa memberi balasan kata.
Namun setelah berpisah untuk
sementara waktu, akan membuat masing-masing dari kami berpikir tentang korelasi
kalimat yang kami lontarkan satu sama lain dari setiap ritual pertemuan yang
selalu kami penuhi tersebut.
Menanti bertemu lagi untuk membahasnya sangat
menyebalkan. Karena kami harus berkutat dengan pemikiran sendiri-sendiri sampai
pertemuan itu terjadi kembali. Namun bagaimana jika pertemuan selanjutkan tak
akan terjadi?
Benar saja, tak ada pertemuan selanjutnya, tak ada ritual
diskusi seminggu 3 kali, tak ada rasa lelah dan manggut-manggut akibat terlalu
banyak topik yang dibahas. Usaha membuat waktu menjadi berharga seketika
terhenti.
Apakah kamu sedang dalam perjalanan pembuktian itu? Kenapa tak
kamu tunjukkan pada semua orang? Minimal padaku! Ah, aku lupa kamu punya cara
sendiri tanpa harus gembar-gembor. Tapi bagaimana caranya? Apakah dengan
menghentikan rutinitas kita?
Dalam rentang perkenalan selama ini kami berusaha memahami
banyak hal, salah satunya dalam menemukan satu jawaban untuk sekian banyak
pertanyaan. Sederhananya kami hanya perlu menggabungkan premis demi premis
hingga menemukan konklusi bahkan bisa saja berbentuk korelasi dari sekian
banyak hal yang kami pertanyakan tersebut.
Hanya saja untuk kali ini sepertinya
salah satu dari kami malah menambah tanya baru sebagai jawaban yang
sesungguhnya. Tanya yang tanpa ada kelanjutannya. Tanya yang membuat persepsi
kami menjadi timpang.
Dengan ini, pembuktian bukan lagi pembuktian. Aku tak memahami
caranya, ia tak kunjung menunjukkannya dan sekarang entah berada dimana,
sedangkan waktu tetap memperlihatkan kuasanya yang tak berubah, membuat kita
menjadi manusia mengalir yang merasa melakukan sesuatu untuk hidup.
Kita
manusia yang berpatokan pada waktu, namun waktu tak pernah memberi apapun pada
kita selain kenangan masa lalu dan rahasia masa depan.
- - - - -
Di sudut kota lain, dalam genggaman jemari wanita lain, pria
dengan tulang pipi yang indah mencoba menerawang jauh, menyecap masa yang
berbeda, merasakan hawa wanita yang sudah bertahun-tahun tak lagi
mendengarkannya berceloteh.
Arloji bisa dibeli, tapi waktu tidak.. Sederet kekayaan bisa dimiliki, tapi belum tentu kebahagiaan.. #lupa saya dulu baca dimana.. #Semakin mudah cinta didefinisikan, maka semakin rendah kadarnya.. Karena cinta bukan teori, tapi amanat mulia yang mesti dilaksanakan.. #DD
BalasHapus